DUA PEREMPUAN DENGAN KESANTAIANNYA
Studi Gender dalam Kaitannya dengan Budaya Populer terhadap cerpen “Dua Perempuan dengan HP-nya” Karya Seno Gumira Ajidarma
Oleh Efi Filita Arifin (Kajian Budaya 2017)
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2018
Berdasarkan penelitiaannya terhadap televisi dan media cetak populer di amerika antara 1950-an hingga 1970-an, Tuchman berpendapat bahwa media massa “secara simbolis telah meniadakan” perempuan. Hal berdasarkan temuannya bahwa persentase perempuan sebesar 51% dari populasi dan 40% dari tenaga kerja, namun relative sedikit diangkat ke permukaan. Media massa malah memberikan stereotif bahwa perempuan pekerja itu “terkutuk”. Gejala ini ia sebut sebagai “anihilasi simbolik”, peniadaan/peremehan/pengutukan secara simbolis (Strinati, 2007: 208-209).
Pendapat Tuchman diperkuat oleh Van Zoonen yang menyatakan bahwa perempuan jarang ditampilkan di media massa, entah sebagai istri, ibu, putri, kekasih; kalaupun ditampilkan, mereka digrambarkan secara tradisional dalam berbagai pekerjaan perempuan (sekretaris, perawat, resepsionis); atau sebagai objek seks (1991, dalam Strinati, 2007: 208).
Secara radikal, Modleski menyatakan bahwa perempuan telah ditiadakan dalam budaya popular. Maka dari itu, ia berpendapat bahwa pada dasarnya gender penting dalam kajian budaya popular, dan memiliki relevansi tertentu dengan konsep budaya popular. Perempuan dianggap menyandang tanggung jawab atas budaya populer dan efek-efek yang merugikannya, sementara laki-laki bertanggung jawab atas budaya tinggi. Budaya popular dianggap feminine dan budaya tiinggi dianggap maskulin (Strinati, 2007: 217-218).
Berikut adalah pemetaan oposisional berdasarkan perspektif kritis Modleski.
Budaya Tinggi Budaya Populer
Maskulinitas Femininitas
Produksi Konsumsi
Kerja Santai
Kecerdasan Emosi
Sifat aktif Sifat pasif
Menulis Membaca
Dalam perspektif Modleski inilah penulis mencoba menyorot cerpen “Dua Perempuan dengan HP-nya” karya Seno Gumira Ajidarma. Secara mencolok, tokoh-tokoh perempuan dalam cerpen tersebut merepresentasikan sifat-sifat yang diasumsikan oleh pengoposisian budaya tinggi dan popular. Yang menarik adalah, bahwa sifat-sifat tersebut (yang diwujudkan dalam ucapan dan tindakan) merupakan perlawanan terhadap domestifikasi perempuan dan budaya patriarki. Sifat yang disoroti adalah sikap santai; bagaimana sikap santai menjadi perlawanan kaum perempuan dalam menghadapi institusi serius bernama perkawinan berikut pernak-pernak segala urusannya.
Cerpen “Dua Perempuan dengan HP-nya” termaktub dalam buku antologi cerpen bertema lesbian, Un Soir du Paris (Gramedia, 2010). Cerpen ini mengisahkan dua orang perempuan kelas atas, Sandra dan Susan. Masing masing telah menikah. Mereka saling mencintai dan bertemu diam-diam di sebuah pantai. Secara bersamaan, sambil berjalan ke arah pantai, keduanya menelepon. Yang satu menelepon pembentunya, yang lain menelepon sekretaris suaminya. Porsi terbesar penceritaan berupa percakapan via telepon dan seputar masalah-masalah domestik. Meski adegan berupa tindakan dan dialog antar keduanya lebih kecil, rupanya percakapan via telepon itu menggambarkan latar sekaligus motif keduanya melakukan percintaan di pantai itu.
Secara keseluruhan, atmosfer cerita tersebut terasa santai. Hal itu ditunjukkan di antaranya oleh latar tempat di pantai (yang biasa dijadikan tempat wisata, tempat bersantai). Kemudian, kendaraan yang mereka tumpangi adalah mobil sport, santai namun berkelas, bukan mobil yang terkesan formal, seperti sedan. Selain itu, kesantaian juga tergambar dari pakaian mereka, yakni blues yang you can see, meski dilapisi blazer. Kesan santai juga ditunjukkan dengan adegan berjalan menuju pantai tanpa alas kaki. Di antara semua itu, kesantaian yang substansial terlihat pada percakapan mereka via HP. Berikut akan diuraikan secara lebih rinci indikator-indikator kesantaian, berikut kutipan-kutipan yang mendukungnya.
- Sikap kurang tanggung jawab terhadap keluarga
Kesantaian yang pertama ditunjukkan dengan ujaran-ujaran keduanya saat berbicara dengan pembantunya (Sandra) dan sekretaris suaminya (Susan).
“Iyem? Nanti kalau Tuan pulang bilang saya terlambat sampai rumah. Jalanan pasti macet dan saya banyak urusan…” (Ajidarma, dkk, 2010: 26)
Dalam ujaran tersebut, Sandra sedang mengantisipasi keadaan di mana suaminya akan pulang dan bertanya kepada Iyem, pembantunya, tentang keberadaan dirinya. Ia membuat alasan palsu alias kebohongan, yakni “macet” dan “banyak urusan”. Faktanya, dia sedang berada di pantai, bukan di jalanan di tengah kota dan sedang bersantai, bukan sedang menjalankan sebuah, apalagi banyak, urusan. Hal ini menunjukkan sikap kurangnya tanggung jawab terhadap keluarga, yaitu dengan sengaja melalaikan kewajiban untuk berada di rumah dan di dekat suami.
Demikian juga halnya dengan Susan.
”Linda? Bilang sama bos kamu aku tidak bisa ketemu dia malam ini. Kamu atur saja entah kapan, pokoknya tidak bisa malam ini, banyak urusan…” (Ajidarma, dkk, 2010: 26)
Susan membuat alasan yang sama dengan Sandra, yakni “banyak urusan”. Bedanya, Susan berbicara dengan Linda, sekretaris, pembantu yang berkelas. Lebih dari itu, peristiwa percakapan Susan dan Linda lebih dramatis karena Linda, selain sekretaris, juga merupakan kekasih gelap suaminya. Kemudian, Susan bersikap terbuka daripada Sandra yang menyembunyikan keberadaannya. Susan berujar kepada Linda,
“He, begini saja sekretaris bego, bilang bos kamu aku tidak pulang malam ini. Aku menginap di rumah pacarku. Bilang saja begitu.” (Ajidarma, dkk, 2010: 27)
Keduanya berusaha menghindari tanggung jawab keluarga. Bedanya, Susan lebih terbuka. Jelas karena didorong oleh perselingkuhan suaminya dengan Linda. Berbeda dengan Sandra yang tampak baik-baik saja.
- Tidak peduli pada perselingkuhan suami: desakralisasi lembaga pernikahan
Hal ini hanya dilakukan oleh Susan karena rumahtangganyalah yang bermasalah. Suaminya berselingkuh, yang mana dapat diartikan sebagai penyimpangan terhadap norma, komitmen, dan nilai sakral pernikahan. Susan pun menanggapinya dengan hal serupa, tidak peduli pada ketidaksetiaan suaminya,
“Aku sudah dengar dari mana-mana sejak kapan-kapan tentang kalian itu, Linda, dan aku tidak apa-apa, aku tidak peduli sama sekali…” (Ajidarma, dkk, 2010: 27)
“Masalahnya aku tidak peduli lagi dengan suamiku. Paham kamu?” (Ajidarma, dkk, 2010: 28)
Bahkan,apa yang dilakukan Susan lebih lagi. Jika mengacu pada norma sosial tradisional, ia telah melakukan pelanggaran dua kali lipat daripada yang dilakukan suaminya, yakni berselingkuh sekaligus melakukan hubungan homoseksual. Homoseksual, dalam hal ini lesbian, dipandang sebagai bentuk penyimpangan berat. Psikolog besar semacam Freud pun mengategorikan lesbianism sebagai inversi, penyimpangan orientasi seksual (Freud, 2003). Lepas dari hal itu, Susan telah menolak patriarki secara radikal dan mendesakralisasi lembaga pernikahan secara terang-terangan. Semua itu dilakukan dengan santai, meski tidak benar-benar berterus terang karena menyatakan punya pacar tanpa menyebutkan bahwa pacarnya sama-sama perempuan.
- Pemuasan hasrat diri sendiri
Hal ini hanya dilakukan oleh Sandra. Melalui percakapannya dengan Iyem, ia tampak sangat menyayangi binatang piarannya, seekor anjing dan seekor kucing, dengan agak berlebihan.
”Jangan lupa kasih makan anjing, kucing, nayalakan lampu, matikan ledeng, kalau Tuan pulang jangan lupa dibikinkan susu coklat sebelum tidur…”
”Aduh Iyeeeeemmm! Cepat kejar Si Blackie! Jangan sampai dia lepas ke jalan! Cepat aku tunggu…”
“Aduh punya pembantu satu saja sial begini! Halo! Sudah?”
“Kucingnya juga jangan lupa, kasih makanan yang dari supermarket.”
“Puss? Iyem! Mana Si Pus?”
“Aduh, Pus, kamu diapakan sama Si Iyem?” (Ajidarma, dkk, 2010: 27-29)
Sandra tampak lebih memberikan perhatian kepada binatang-binatang piarannya daripada kepada pembantunya yang jelas-jelas jauh lebih besar kontribusinya daripada binatang-binatang itu. Barangkali, biaya yang ia keluarkan untuk perawatan dan makanan mereka pun bisa melebihi gaji pembatunya.
- Tidak terlalu serius dalam menjalankan pekerjaan
Hal ini pun dapat menjadi indicator femininitas. Ini pun hanya dilakukan oleh Sandra yang memiliki bisnis di bidang makanan. Hal itu tampak saat ia berbincang via HP dengan suaminya.
“Gampanglah, soal harus ada anak pejabat itu soal nanti.”
”Iya. Sudah ada yang urus. Ada juga saudaranya mentri. Bereslah.” (Ajidarma, dkk, 2010: 30)
Keempat hal di atas, berdasarkan oposisi Modleski, menunjukkan dan memosisikan dengan sangat jelas bahwa perempuan merupakan agen dari budaya popular. Mereka merayakan kebebasan dari norma, menikmati hasrat pemuasan diri, hingga dengan santai mendesakralisasi lembaga pernikahan yang merupakan ujung tombak budaya patriarki. Sifat feeminin budaya popular ditunjukkan dengan kesantaian sebagai oposisi dari keseriusan.
Permasalahannya kemudian, pencitraan perempuan sebagai pihak yang memiliki sikap santai ini memiliki ambiguitas makna: apakah dilhat sebagai eksistensi ataukah anihilasi simbolik perempuan. Hal iini sangat ditentukan oleh apakah bagaimana cara kita memandang pengoposisian yang dibuat oleh Modleski, apakah kita masih menyetujui pemilihan budaya tinggi dan budaya populer ataukah menolaknya. Jika kita menyetujuinya, pencitraan perempuan di dalam novel tersebut termasuk anihilasi simbolik karena justru menguatkan stereotype perempuan sebagai sosok yang segala macam tindakannya distimulus oleh laki-laki (pada Susan) dan tidak berani mengungkapkan dirinya (pada Sandra). Jika kita menolaknya, seperti yang disarankan Modleski, maka yang terjadi adalah sebaliknya, yakni pencitraan perempuan santai merupakan agen pendobrak pemilahan budaya tinggi dan budaya popular.
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno Gumira, dkk. (2010). Un Soir du Paris: Kumpulan Cerpen. Gramedia: Jakarta.
Freud, Sigmund. (2003). Teori Seks (diterj. oleh Apri Danarto). Yogyakarta: Jendela.
Strinati, Dominic. (2007). Popular Culture: Pengantar Menuju Budaya Populer (diterj. oleh Abdul Mukhid). Yogyakarta: Jejak.