Selasa, 18 Desember 2018

Dua Perempuan dengan Kesantaiannya.

DUA PEREMPUAN DENGAN KESANTAIANNYA
Studi Gender dalam Kaitannya dengan Budaya Populer terhadap cerpen “Dua Perempuan dengan HP-nya” Karya Seno Gumira Ajidarma

Oleh Efi Filita Arifin (Kajian Budaya 2017)




FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG

2018



Berdasarkan penelitiaannya terhadap televisi dan media cetak populer di amerika antara 1950-an hingga 1970-an, Tuchman berpendapat bahwa media massa “secara simbolis telah meniadakan” perempuan. Hal berdasarkan temuannya bahwa persentase perempuan sebesar 51% dari populasi dan 40% dari tenaga kerja, namun relative sedikit diangkat ke permukaan. Media massa malah memberikan stereotif bahwa perempuan pekerja itu “terkutuk”. Gejala ini ia sebut sebagai “anihilasi simbolik”, peniadaan/peremehan/pengutukan secara simbolis (Strinati, 2007: 208-209).
Pendapat Tuchman diperkuat oleh Van Zoonen yang menyatakan bahwa perempuan jarang ditampilkan di media massa, entah sebagai istri, ibu, putri, kekasih; kalaupun ditampilkan, mereka digrambarkan secara tradisional dalam berbagai pekerjaan perempuan (sekretaris, perawat, resepsionis); atau sebagai objek seks (1991, dalam Strinati, 2007: 208).
Secara radikal, Modleski menyatakan bahwa perempuan telah ditiadakan dalam budaya popular. Maka dari itu, ia berpendapat bahwa pada dasarnya gender penting dalam kajian budaya popular, dan memiliki relevansi tertentu dengan konsep budaya popular. Perempuan dianggap menyandang tanggung jawab atas budaya populer dan efek-efek yang merugikannya, sementara laki-laki bertanggung jawab atas budaya tinggi. Budaya popular dianggap feminine dan budaya tiinggi dianggap maskulin (Strinati, 2007: 217-218).
Berikut adalah pemetaan oposisional berdasarkan perspektif kritis Modleski.
Budaya Tinggi        Budaya Populer
Maskulinitas        Femininitas
Produksi         Konsumsi
Kerja            Santai
Kecerdasan        Emosi
Sifat aktif        Sifat pasif
Menulis            Membaca

Dalam perspektif Modleski inilah penulis mencoba menyorot cerpen “Dua Perempuan dengan HP-nya” karya Seno Gumira Ajidarma. Secara mencolok, tokoh-tokoh perempuan dalam cerpen tersebut merepresentasikan sifat-sifat yang diasumsikan oleh pengoposisian budaya tinggi dan popular. Yang menarik adalah, bahwa sifat-sifat tersebut (yang diwujudkan dalam ucapan dan tindakan) merupakan perlawanan terhadap domestifikasi perempuan dan budaya patriarki. Sifat yang disoroti adalah sikap santai; bagaimana sikap santai menjadi perlawanan kaum perempuan dalam menghadapi institusi serius bernama perkawinan berikut pernak-pernak segala urusannya.
Cerpen “Dua Perempuan dengan HP-nya” termaktub dalam buku antologi cerpen bertema lesbian, Un Soir du Paris (Gramedia, 2010). Cerpen ini mengisahkan dua orang perempuan kelas atas, Sandra dan Susan. Masing masing telah menikah. Mereka saling mencintai dan bertemu diam-diam di sebuah pantai. Secara bersamaan, sambil berjalan ke arah pantai, keduanya menelepon. Yang satu menelepon pembentunya, yang lain menelepon sekretaris suaminya. Porsi terbesar penceritaan berupa percakapan via telepon dan seputar masalah-masalah domestik. Meski adegan berupa tindakan dan dialog antar keduanya lebih kecil, rupanya percakapan via telepon itu menggambarkan latar sekaligus motif keduanya melakukan percintaan di pantai itu.
Secara keseluruhan, atmosfer cerita tersebut terasa santai. Hal itu ditunjukkan di antaranya oleh latar tempat di pantai (yang biasa dijadikan tempat wisata, tempat bersantai). Kemudian, kendaraan yang mereka tumpangi adalah mobil sport, santai namun berkelas, bukan mobil yang terkesan formal, seperti sedan. Selain itu, kesantaian juga tergambar dari pakaian mereka, yakni blues yang you can see, meski dilapisi blazer. Kesan santai juga ditunjukkan dengan adegan berjalan menuju pantai tanpa alas kaki. Di antara semua itu, kesantaian yang substansial terlihat pada percakapan mereka via HP. Berikut akan diuraikan secara lebih rinci indikator-indikator kesantaian, berikut kutipan-kutipan yang mendukungnya.
  1. Sikap kurang tanggung jawab terhadap keluarga
Kesantaian yang pertama ditunjukkan dengan ujaran-ujaran keduanya saat berbicara dengan pembantunya (Sandra) dan sekretaris suaminya (Susan).

“Iyem? Nanti kalau Tuan pulang bilang saya terlambat sampai rumah. Jalanan pasti macet dan saya banyak urusan…” (Ajidarma, dkk, 2010: 26)

Dalam ujaran tersebut, Sandra sedang mengantisipasi keadaan di mana suaminya akan pulang dan bertanya kepada Iyem, pembantunya, tentang keberadaan dirinya. Ia membuat alasan palsu alias kebohongan, yakni “macet” dan “banyak urusan”. Faktanya, dia sedang berada di pantai, bukan di jalanan di tengah kota dan sedang bersantai, bukan sedang menjalankan sebuah, apalagi banyak, urusan. Hal ini menunjukkan sikap kurangnya tanggung jawab terhadap keluarga, yaitu dengan sengaja melalaikan kewajiban untuk berada di rumah dan di dekat suami.

Demikian juga halnya dengan Susan.

”Linda? Bilang sama bos kamu aku tidak bisa ketemu dia malam ini. Kamu atur saja entah kapan, pokoknya tidak bisa malam ini, banyak urusan…” (Ajidarma, dkk, 2010: 26)

Susan membuat alasan yang sama dengan Sandra, yakni “banyak urusan”. Bedanya, Susan berbicara dengan Linda, sekretaris, pembantu yang berkelas. Lebih dari itu, peristiwa percakapan Susan dan Linda lebih dramatis karena Linda, selain sekretaris, juga merupakan kekasih gelap suaminya. Kemudian, Susan bersikap terbuka daripada Sandra yang menyembunyikan keberadaannya. Susan berujar kepada Linda,

“He, begini saja sekretaris bego, bilang bos kamu aku tidak pulang malam ini. Aku menginap di rumah pacarku. Bilang saja begitu.”  (Ajidarma, dkk, 2010: 27)

Keduanya berusaha menghindari tanggung jawab keluarga. Bedanya, Susan lebih terbuka. Jelas karena didorong oleh perselingkuhan suaminya dengan Linda. Berbeda dengan Sandra yang tampak baik-baik saja.

  1. Tidak peduli pada perselingkuhan suami: desakralisasi lembaga pernikahan
Hal ini hanya dilakukan oleh Susan karena rumahtangganyalah yang bermasalah. Suaminya berselingkuh, yang mana dapat diartikan sebagai penyimpangan terhadap norma, komitmen, dan nilai sakral pernikahan. Susan pun menanggapinya dengan hal serupa, tidak peduli pada ketidaksetiaan suaminya,

“Aku sudah dengar dari mana-mana sejak kapan-kapan tentang kalian itu, Linda, dan aku tidak apa-apa, aku tidak peduli sama sekali…” (Ajidarma, dkk, 2010: 27)

“Masalahnya aku tidak peduli lagi dengan suamiku. Paham kamu?” (Ajidarma, dkk, 2010: 28)

Bahkan,apa yang dilakukan Susan lebih lagi. Jika mengacu pada norma sosial tradisional, ia telah melakukan pelanggaran dua kali lipat daripada yang dilakukan suaminya, yakni berselingkuh sekaligus melakukan hubungan homoseksual. Homoseksual, dalam hal ini lesbian, dipandang sebagai bentuk penyimpangan berat. Psikolog besar semacam Freud pun mengategorikan lesbianism sebagai inversi, penyimpangan orientasi seksual (Freud, 2003). Lepas dari hal itu, Susan telah menolak patriarki secara radikal dan mendesakralisasi lembaga pernikahan secara terang-terangan. Semua itu dilakukan dengan santai, meski tidak benar-benar berterus terang karena menyatakan punya pacar tanpa menyebutkan bahwa pacarnya sama-sama perempuan.

  1. Pemuasan hasrat diri sendiri
Hal ini hanya dilakukan oleh Sandra. Melalui percakapannya dengan Iyem, ia tampak sangat menyayangi binatang piarannya, seekor anjing dan seekor kucing, dengan agak berlebihan.

”Jangan lupa kasih makan anjing, kucing, nayalakan lampu, matikan ledeng, kalau Tuan pulang jangan lupa dibikinkan susu coklat sebelum tidur…”

”Aduh Iyeeeeemmm! Cepat kejar Si Blackie! Jangan sampai dia lepas ke jalan! Cepat aku tunggu…”

“Aduh punya pembantu satu saja sial begini! Halo! Sudah?”

“Kucingnya juga jangan lupa, kasih makanan yang dari supermarket.”

“Puss? Iyem! Mana Si Pus?”

“Aduh, Pus, kamu diapakan sama Si Iyem?” (Ajidarma, dkk, 2010: 27-29)

Sandra tampak lebih memberikan perhatian kepada binatang-binatang piarannya daripada kepada pembantunya yang jelas-jelas jauh lebih besar kontribusinya daripada binatang-binatang itu. Barangkali, biaya yang ia keluarkan untuk perawatan dan makanan mereka pun bisa melebihi gaji pembatunya.  

  1. Tidak terlalu serius dalam menjalankan pekerjaan
Hal ini pun dapat menjadi indicator femininitas. Ini pun hanya dilakukan oleh Sandra yang memiliki bisnis di bidang makanan. Hal itu tampak saat ia berbincang via HP dengan suaminya.
“Gampanglah, soal harus ada anak pejabat itu soal nanti.”
”Iya. Sudah ada yang urus. Ada juga saudaranya mentri. Bereslah.” (Ajidarma, dkk, 2010: 30)

Keempat hal di atas, berdasarkan oposisi Modleski, menunjukkan dan memosisikan dengan sangat jelas bahwa perempuan merupakan agen dari budaya popular. Mereka merayakan kebebasan dari norma, menikmati hasrat pemuasan diri, hingga dengan santai mendesakralisasi lembaga pernikahan yang merupakan ujung tombak budaya patriarki. Sifat feeminin budaya popular ditunjukkan dengan kesantaian sebagai oposisi dari keseriusan.
Permasalahannya kemudian, pencitraan perempuan sebagai pihak yang memiliki sikap santai ini memiliki ambiguitas makna: apakah dilhat sebagai eksistensi ataukah anihilasi simbolik perempuan. Hal iini sangat ditentukan oleh apakah bagaimana cara kita memandang pengoposisian yang dibuat oleh Modleski, apakah kita masih menyetujui pemilihan budaya tinggi dan budaya populer ataukah menolaknya. Jika kita menyetujuinya, pencitraan perempuan di dalam novel tersebut termasuk anihilasi simbolik karena justru menguatkan stereotype perempuan sebagai sosok yang segala macam tindakannya distimulus oleh laki-laki (pada Susan) dan tidak berani mengungkapkan dirinya (pada Sandra). Jika kita menolaknya, seperti yang disarankan Modleski, maka yang terjadi adalah sebaliknya, yakni pencitraan perempuan santai merupakan agen pendobrak pemilahan budaya tinggi dan budaya popular.  

DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno Gumira, dkk. (2010). Un Soir du Paris: Kumpulan Cerpen. Gramedia: Jakarta.
Freud, Sigmund. (2003). Teori Seks (diterj. oleh Apri Danarto). Yogyakarta: Jendela.
Strinati, Dominic. (2007). Popular Culture: Pengantar Menuju Budaya Populer (diterj. oleh Abdul Mukhid). Yogyakarta: Jejak.

Minggu, 16 Desember 2018

Rasisme dan Diskriminasi terhadap Perempuan di Amerika Serikat dalam Film Hidden Figure

Rasisme dan Diskriminasi terhadap Perempuan di Amerika Serikat
dalam Film Hidden Figure


Oleh Efi Filita Arifin (Kajian Budaya 2017)










FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2018

Salah satu elemen penting dalam sejarah film adalah penggunaan film untuk propaganda sangat signifikan, terutama jika diterapkan untuk tujuan nasional atau kebangsaan berdasarkan jangkauannya yang luas, sifatnya yang riil, dampak emosional, dan popularitas (McQuail, 2011: 35).
Film sebagai alat propaganda erat kaitannya dengan upaya pencapaian tujuan nasional dan masyarakat. Hal tersebut berkenaan dengan pandangan yang menilai bahwa film memiliki jangkauan, realisme, pengaruh emosional, dan popularitas yang hebat. Upaya membaurkan pengembangan pesan dengan hiburan memang sudah lama diterapkan dalam kesusasteraan dan drama, namun unsurunsur baru dalam film memiliki kelebihan dalam segi kemampuannya menjangkau sekian banyak orang dalam waktu yang cepat dan kemampuannya memanipulasi kenyataan yang tampak dengan pesan fotografis, tanpa kehilangan kredibilitas (McQuail, 1989: 14).
Salah satu hal yang dapat dipropagandakan melalui film adalah (anti-)rasisme. Kata rasisme itu sendiri dapat membangkitkan reaksi emosional yang sangat kuat, terutama bagi mereka yang telah merasakan penindasan dan eksploitasi dari pihak-pihak yang berperilaku rasis. Untuk warga keturunan Afrika Amerika, Asia Amerika, penduduk asli Amerika, dan kaum Latino, rasisme telah menciptakan sejarah sosial yang dibentuk oleh prasangka dan diskriminasi. Untuk individu anggota kelompok ini, rasisme telah mengakibatkan rasa sakit. (Lustig dan Koester, 2003: 157).
Kaum rasis bukan hanya bodoh karena perilaku mereka yang tidak etis dan kejam, melainkan juga karena mereka berpikir dan bertindak berdasarkan premis yang salah. Menjadi hal yang umum bagi mereka yang berpendidikan bahwa perbedaan besar antara kelompok manusia disebabkan oleh budaya, bukan karena warisan biologis atau ras. Semua manusia berasal dari spesies yang sama. Yang perlu dilakukan adalah komunikasi antar-budaya untuk saling mengenali. Rasisme menjadi penghalang utama dalam suksesnya komunikasi antar budaya (Samovar dkk., 2010: 212).
Film telah membuat kontribusi yang signifikan dalam mengungkapkan rasisme di masyarakat, dan dengan demikian dapat menciptakan kesadaran. Telah terdaftar sejumlah film mengenai rasisme, dari berbagai sudut, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Menurut situs Imdb.com, pada tahun 1915 hingga 2010, terhitung 289 film mengandung unsur rasisme, dan pada 2011 sampai 2013 tema rasisme kembali mewarnai perfilman Hollywood, terdapat sebelas film yang memasukkan unsur rasialisme di dalamnya, di antaranya adalah Threading Needles, The Help, Ill Manors, The Man of Honour, Django Unchained, 12 Years A Slave, 42, Traffic Department, United Kingdom, Race, Selma, dan Hidden Figures. Dari film-film rasis ini, salah satu yang paling menarik bagi penulis adalah Hidden Figures.
Hidden Figures mengisahkan tiga orang wanita negro ahli matematika yang bekerja untuk NASA yang saat itu tengah berlomba dengan pihak Rusia dalammenciptakan roket yang dapat mengantarkan orang ke bulan. Mereka adalah Katherine Johnson, Dorothy Vaughan, dan Mary Jackson. Katherine adalah ahli matematika yang ditempatkan di bagian khusus penghitungan titik luncur dan titik kedatangan roket. Dorothy adalah ahli mesin yang kemudian menajdi satu-satunya orang yang dapat mengoperasikan IBM. Mary adalah teknisi roket yang karena perempuan dan berkulit hitam, di ditempatkan di bagian komputer.
Selama bekerja di situlah mereka mengalami pelbagai tindakan rasis, mulai dari pemilahan toilet, ketersediaan kopi, cara berpakaian, hingga pemberian beban kerja yang melebihi standar. Namun, berkat ketabahan dan kesabarannya, mereka mampu melalui semua itu dan berhasil membuktikan kemampuan mereka melebihi seluruh karyawan NASA lainnya. Akhirnya, para atasan mereka pun mengakui kinerja mereka.
Dalam tulisan ini akan dibahas ujaran-ujaran yang menunjukkan rasisme. Ujaran-ujaran tersebut dikelompokkan berdasarkan motif, yakni ujaran beradasarkan prasangka, ujaran sebagai pernyataan, dan ujaran sebagai tindakan.  

  1. Ujaran sebagai prasangka
  1. Saat mobil Dorothy mogok, seorang polisi kulit putih memeriksa KTP sambil mengatakan ketidakpercayaannya karena ada perempuan kulit hitam bekerja di NASA, “Aku tidak tahu kalau mereka…”. Namun karena tahu mereka bekerja dengan para astronot yang akan dikirim ke angkasa guna mengalahkan Rusia, polisi itu malah menawarkan pengawalan sampai ke NASA. Ketidakpercayaan sang polisi ini berlandaskan prasangka umum bahwa wanita dan kulit hitam tidak akan mampu bekerja di institusi sebesar NASA. Prasangka ini menyasar dua isyu sekaligus, yakni gender dan ras. Prasangka yang dimiliki sang polisi ini merupakan prasangka umum. Kemudian, secara individual, ia mampu menghilangkan prasangka tersebut dan bertindak adil dan hormat terhadap ketiganya.
  2. Baru saja masuk kantor, Katheryn sudah disangka petugas kebersihan oleh karyawan di sana. Hal ini menunjukkan prasangka bahwa orang berkulit hitam hanya layak melakukan pekerjaan kasar.

  1. Ujaran sebagai pernyataan
  1. Ketika mengetahui kemampuan Mary, Tn. Zielinski mengatakan Mary sangat diperlukan sebagai teknisi. Mary mengatakan, “Aku adalah negro, aku tak akan menghibur yang mustahil,” yang dibalas oleh Tn. Zielinski, “Dan aku adalah Yahudi Polandia yang orang tuanya mati di kamp penjara Nazi. Jika kau pria kulit putih, kau mau jadi teknisi?”. Ujaran Mary ini merupakan jawaban bahwa dirinya tidak mungkin jadi teknisi mengingat teknisi roket merupakan pekerjaan yang derajatnya lebih tinggi. Sementara itu, ujaran-ujaran Zielinsky menunjukkan ketiadaan pandangan rasis sama sekali karena ia memiliki pengalaman serupa, bahkan lebih menyakitkan, saat di Polandia. Atas hal inilah ia mendorong Mary untuk menjadi teknisi. Mary pun mengiyakan dan melamar sebagai teknisi.
  2. Mitchell (wanita berkulit putih) marah mengetahui Mary nekad melamar sebagai teknisi, mendatanginya di kantin khusus wanita kulit hitam, dan mengatakan, “Kalian beruntung mendapatkan pekerjaan”. Ujaran Mitchell ini merupakan pernyataan bahwa kaum negro banyak yang menganggur sebab akses terhadap pekerjaan sangat dibatasi. Jadi, menurut Mitchell, mereka yang sudah mendapatkan pekerjaan mestinya tahu diri, tak perlu menuntut lebih.
  3. Setelah lelah dengan toilet yang jauh, Katheryn ‘mengamuk’ saat Harrison bertanya ke mana saja dia di saat-saat tertentu. “Aku tidak punya kamar mandi di sini.” Harrison tampak kebingungan dan bertanya, “Apa maksudmu ‘Aku tidak punya kamar mandi di sini’?”. Lalu Katheryn menjawab dengan nada tinggi, “Tidak ada kamar mandi untuk kulit berwarna di sini. Aku harus ke luar gedung yang jaraknya setengah mil. Aku harus ke Timbuktu hanya untuk buang air. Aku tidak boleh pakai sepeda. Aku tidak boleh memakai kalung mutiara. Kulit hitam tak dibayar banyak supaya tidak mampu beli kalung mutiara. Aku harus kerja siang malam. Aku bahkan membuat kopi yang tidak boleh aku sentuh!” Peristiwa percakapan antara katheryn dan Harrison tersebut menggambarkan secara lebih komprehensif hal-hal yang dialami dirinya sebagai wanita dan sebagai kulit hitam yang kesemuaitu menimbulkan rasa sakit. Kemarahan Katheryn adalah ungkapan dari timbunan rasa sakit yang ia terima selama bekerja di NASA.
  4. Harrison memutuskan toilet dicampur untuk kulit putih dan berwarna. Ia sendiri yang membongar papan bertuliskan “White Only” dan berkata “Di NASA, warna kencing kita sama.” Ujaran Harrison tersebut bisa dikategorikan sebagai prnyataan dari pandangan dan sikap anti-rasis. Pernyataan ini merupakan langkah penting dalam upaya membongkar prasangka dan premis keliru tentang ras manusia.
  5. Di ruang sidang yang juga memisahkan tempat duduk kulit putih dan kulit htam, Mary menuntut pengadilan karena ingin sekolah di sekolah khusus kulit putih. Karena untuk jadi insinyur NASA dia harus menempuh pendidikan di sekolah itu. Pernyataan Mary di ruang siding merupakan klimaks dari pernyataan anti-rasis. Ia pun berhasil membuat hakim mengabulkan permohonannya untuk bisa mengambil kelas di Hampton, suatu sekolah calon teknisi, sebagai syarat agar ia memperoleh pekerjaan teknisi di NASA.

  1. Ujaran sebagai tindakan
  1. Katheryn kesulitan mencari toilet karena kulit hitam disediakan toilet yang sangat jauh, dengan tulisan “colored bathroom”. Tulisan tersebut merupakan tindakan yang menginstruksikan bahwa kulit hitam tidak boleh sembarangan memasuki toilet umum. Ia memiliki tempat khusus yang barangkali juga fasilitasnya tidak sebaik toilet untuk kulit putih.   
  2. Saat Dorothy membawa anak-anaknya ke perpustakaan, ada demonstrasi anti-rasis. Dorothy berusaha memalingkan anak-anaknya dari demonstrasi tersebut sambil berkata, “Ayo, kita bukan bagian dari masalah itu”. Ujaran ini menunjukkan bahwa Dorothy tidak mengambil bentuk aksi massa sebagai perjuangan meraih haknya. Iaseorang intelek yang berjuang dengan cara halus dan elegan.
  3. Tak jauh dari tempat demonstrasi, ada tempat minum terpisah dengan tulisan “white only” dan “colored only”. Kedua tulisan ini juga menginstruksikan bahwa kaum kulit hitam tidak boleh mengambil minum sembarangan.

Berikut adalah data tokoh dan penokohan dalam film tersebut.
  1. Katheryn Johnson adalah wanita jenius Matematika yang menjadi wanita pertama dan berkulit hitam menjadi staf ahli dalam proyek roket pertama NASA. Sempat tidak diterima dalam banyak sekali kesempatan pertemuan NASA dengan pemerintah sampai akhirnya menjadi sosok penting peluncuran NASA.
  2. Dorothy Vaughan adalah wanita pertama dalam staf IBM yang mampu menjalankan mesin IBM pertama. Selalu ditolak menjadi supervisor karena berkulit hitam.
  3. Mary Jackson adalah wanita pertama insinyur NASA. Meski mempunyai dua gelar sarjana tapi ditolak menjadi teknisi karena tidak menempuh sekolah khusus teknisi yang hanya diperuntukkan untuk lelaki dan kulit putih.
  4. Al Harrison, atasan Katheryn, selalu bersikap netral dari awal dan mendorong Katheryn untuk bisa diterima sebagai staf pentng NASA. Harrison merupakan tokoh penting dalam hal menghapuskan diskriminasi rasial di NASA. dia tampak sebagai orang yang tidak memiliki prasangka dan pandangan rasis sejak awal kemunculannya dalam film. Membongkar papan “white only”merupakan aksi heroic sekaligus simbolik yang berdampak pada penghapusan diskriminasi tersebut.  
  5. Paul Stafford, rekan Katheryn awalnya rasis namun lama-kelamaan menerima perbedaan mereka dan mau bekerja sama.
  6. Jon Glenn, astronot yang diterbangkan NASA. Dia selalu bersikap netral tanpa memandang ras, bahkan tanpa sungkan menyalami para pegawai kulit hitam.
  7. Vivian Mitchell, atasan Dorothy yang rasis sampai akhirnya dia mengakui kemampuan Dorothy sebagai supervisor.
  8. Jim Johnson suami kedua Katheryn, awalnya meragukan kemampuan latheryn sebagai ahli matematika.
  9. Levi Jackson, suami Mary, mendukung penuh istrinya menajdi tenisi NASA
  10. Ruth, sekretaris Harrson, bersikap sangat hati-hati dan protokoler meski sebenarnya dia tidak rasis.
  11. Joylette Coleman, ibu Katheryn mendukung penuh bakat anaknya sedari kecil, sampai rela berpindah kota supaya Katheryn mendapat pendidikan layak.
  12. Karl Zielinski, atasan Mary, seorang Yahudi, mendukung penuh supaya Mary menjadi teknisi. Zielinsky merupakan representasi kaum imigran Amerika yang memiliki kebijaksanaan lebih dibanding kulit putih Amerika. Ia bukan hanya tidak memiliki prasangka rasial, melainkan juga berempati pada kaum kulit hitam karena pengalaman pahitnya sebagai yahudi di mana orangtuanya dibunuh di kamp konsentrasi.   

DAFTAR PUSTAKA
McQuail, D. (2011). Teori Komunikasi Massa . Jakarta: Humanika.

Lustig, Myron W. and Jolene Koester. (2003). Intercultural Competence: Interpersonal Communication Across Cultures. New York : Mc. Graw Hill International.

 Samovar A. Larry, Porter E. Richard, McDaniel R. Edwin. 2010. Komunikasi. Lintas Budaya. Jakarta.

Jumat, 02 November 2018

PEMIMPIN KAFIR SEBAGAI ISTILAH YANG MENCEDERAI KEADABAN PUBLIK

Aksi Bela Islam Jilid I s.d. VII merupakan aksi massa yang didorong oleh motif keagamaan dengan mengatasnamakan demokrasi dalam konteks kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Aksi itu dipicu oleh beredarnya penggalan video yang menayangkan pidato kunjungan kerja Gubernur DKI saat itu, Basuki Tjahja Purnama (BTP; akrab disebut Ahok) di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, yang menyarankan bahwa para hadirin jangan mau dibohongi pake Al Maidah 51*. Penggalan video itu menyebar luas (viral) dalam waktu singkat dan menimbulkan reaksi keras di kalangan umat Islam. Sebagian besar mengecamnya dan menuntut Ahok ditangkap karena dinilai telah menistakan agama Islam. Reaksi itupun kian massif dengan keluarnya fatwa MUI tertanggal 11 Oktober 2016 yang menyatakan bahwa Ahok telah menistakan agama Islam. Segera setelah keluarnya fatwa tersebut, terbentuk organisasi yang menamakan dirinya Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI. Aksi demi aksi massa pun diselenggarakan, lalu memuncak pada Aksi Bela Islam Jilid III di Monumen Nasional (Monas) pada tanggal pada Tanggal 2 Desember 2016 sehingga aksi ini juga dikenal sebagai 212.

Tujuan utama dari rangkaian aksi tersebut adalah menuntut, menangkap, dan memenjarakan Ahok dengan tuduhan menistakan agama (Islam). Hal itu terbilang berhasil karena pada akhirnya Ahok berhasil disidangkan, didakwa telah menistakan agama, dan divonis dua tahun penjara. Lebih dari itu, patut dilayangkan dugaan bahwa tujuan utamanya lebih bersifat politis, yakni adanya penggantian Gubernur DKI Jakarta.

Hal menarik adalah bahwa aksi tersebut sangat sarat dengan nuansa keagamaan. Mulai dari tampilan fisik para peserta aksi hingga kosakata yang dilontarkan sepanjang aksi, baik yang secara tertulis maupun yang secara lisan (diucapkan). Ditambah dengan lantunan salawat, salat Jumat berjamaah, dan orasi-orasi para oratornya yang kerap mengutip ayat-ayat Al Quran. Jika tujuan politis yang telah disebutkan di atas benar, maka aksi tersebut dapat dikatakan sebagai aksi bermotif politik dengan dalil agama atau yang secara singkat disebut politisasi agama. Nuansa kuat keagamaan itu terlihat dari disiar-siarkannya dua istilah yang mencolok, baik diucapkan dalam orasi-orasi maupun dituliskan dalam berbagai medium tulis perangkat aksi: pemimpin kafir dan penista agama.

Apakah peristiwa di atas benar-benar dilakukan dalam rangka demokrasi? Sejauh mana hal-hal yang bersifat primordial, dalam hal ini keagamaan, dapat dilibatkan saat berpartisipasi dalam demokrasi?

Strong (1966, dalam Haliim, 2016) mengartikan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang kekuasaannya dalam mengambil keputusan untuk suatu negara ditetapkan secara sah, bukan menurut golongan atau beberapa golongan, melainkan menurut anggota-anggota sebagai suatu komunitas secara keseluruhan. Di Indonesia saat ini, demokrasi seperti yang dirumuskan Strong belumlah tercapai. Yang terjadi adalah demokrasi prosedural alias demokrasi semu, yakni demokrasi yang dijalankan hanya sebatas pemenuhan rambu-rambu demokrasi. Demokrasi semacam ini diperuntukkan bagi kalangan elite politik. Wataknya pun oligarkis, yakni persaingan di kalangan mereka dalam rangka merebut kekuasaan, bukan dalam rangka memberdayakan rakyat secara keseluruhan (Fatkhurrohman, 2011).

Dalam kekacauan demokarasi inilah, pelanggaran demi pelanggaran terjadi. Kebutaan masyarakat tentang rambu-rambu demokrasi menyebabkan munculnya ketumpang-tindihan antara ruang publik informal dan ruang publik formal **. Demikian juga antara hal yang primordial dan hal yang rasional. Di samping karena kebutaan akan rambu-rambu demokrasi, kekacauan demokrasi di Indonesia juga terjadi karena masih kuatnya primordialisme di kalangan masyarkat Indonesia.

Di antara hal-hal yang primordial itu, agama—dalam hal ini agama Islam—merupakan yang terkuat dan terluas melekat pada diri masyarakat Indonesia. Masifnya labelisasi-labelisasi keislaman, seperti halal dan syariah, dalam berbagai bidang kehidupan menunjukkan hal itu. Di antara bidang-bidang itu, yang paling intensif diinfiltrasi adalah bidang politik. Gejala partai politik Islam dan pencanangan perda syariah yang sangat sarat dengan istilah-istilah privat keislaman kian amarak. Terlebih lagi di tataran informal, yakni di luar parlemen dan partai politik. Aksi Bela Islam merupakan salah satu puncak dari gejala bagaimana gagasan-gagasan politik yang masih berlandaskan hal primordial dan irasional mengintervensi ke dalam tataran formal pemerintahan.

Tujuan utama dari aksi tersebut adalah ditangkap, diadili, dan dipenjarakannya Ahok. Saat itu, Ahok sedang menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sejak naik jadi Gubernur, ada banyak sekali pihak yang menentangnya karena faktor perbedaan agama (Ahok beragama Kristen). Jadi, kasus Pidato Kepulauan Seribu ini sebetulnya hanya pemantik yang mengobarkan bensin yang sudah lama menggenang. Aksi ini memunculkan dua istilah yang menjadi senjata utama pihak-pihak yang terlibat di dalamnya untuk melengserkan Ahok: Penista Agama dan Pemimpin Kafir.

Istilah pemimpin kafir menyiratkan sosok pemimpin (dalam hal ini kepala daerah) yang bukan beragama Islam dan karenanya tidak diinginkan. Istilah ini bersifat doktrinal, bersumber dari ajaran agama. Dalam demokrasi, istilah ini tidak memiliki konteks dan argumen untuk dikemukakan sebagai gagasan rasional sebagaimana disyaratkan oleh demokrasi ***. Istilah kafir merupakan istilah yang hanya layak dikemukakan dalam ruang privat atau setidaknya ruang publik informal, seperti kelompok pengajian atau majelis taklim. Dia tidak bisa digunakan dalam ruang publik formal karena ruang publik formal dihuni oleh berbagai pihak dan kelompok yang mengharuskan mereka hidup berdampingan secara setara. Sementara, penggunaan istilah ini mengandaikan bahwa kelompok inilah yang berhak hidup di ruang publik formal. Jelas ini  merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip mendasar dalam demokrasi. Maka dari itu, penggunaan istilah pemimpin kafir jelas mencederai keadaban publik yang menjadi tolok ukur keberhasilan demokrasi.   

Sampai sejauh ini, dalam tataran praktis politik di Indonesia, kelompok ini belum memiliki daya dalam mengegolkan gagasannya****. Namun, dalam kasus Ahok, mereka memiliki perantara, yakni fatwa MUI yang menyatakan bahwa Ahok telah menistakan agama Islam. Melalui istilah Penista Agama inilah mereka melakukan aksi intensif dan membahana hingga ke berbagai penjuru dunia dan berhasil mencapai tujuannya.

Dalam konteks demokrasi, peristiwa ini meninggalkan luka yang mendalam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokrasi Pancasila yang dibangun dengan amat susah payah melalui jalan panjang nan berliku oleh para pendiri bangsa ini tercederai oleh aksi berlandaskan ide primordial yang dipaksakan. Sudah seyogianya peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi perikehidupan berbangsa dan bernegara ke depan tentang bagaimana kita berdemokrasi dengan baik dan benar. Hanya dengan berdemokrasi secara baik dan benarlah akan terwujud kemakmuran rakyat mengingat demokrasi merupakan sine qua non atau syarat mutlak bagi terciptanya kemakmuran rakyat.

SUMBER BACAAN
Menoh, Gusti A.B. (2015). Agama dalam Ruang Publik: Hubungan antara Agama dan Negara dalam Masyarakat Postsekuler Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.

Fatkhurohman. “Mengukur Kesamaan Paham Demokrasi Deliberatif, Demokrasi Pancasila, dan Demokrasi Konstitusional. Dalam Jurnal Konstitusi, Vol. IV, No. 2, November 2011.

Farihah, Liza dan Della Sri Wahyuni. “Demokrasi Deliberatif dalam Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia: Penerapan dan Tantangan ke Depan”. Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan.




*Tentu konteksnya dalam rangka pemilihan kepala daerah; berhubung Ahok merupakan kepala daerah non-muslim di wilayah yang menjadi ibukota negera, banyak yang menyerangnya dengan dalil Al Quran tentang larangan memilih pemimpin dari kalangan non-muslim. 

** Mengacu pada konsep demokrasi deliberatif Habermas. Ruang publik informal merupakan ruang publik yang dihuni suatu kelompok yang memiliki norma homogen, seperti kelompok keagamaan, kelompok kesukuan, dan kelompok-kelompok yang rata-rata berlandaskan hal-hal primordial. Ruang publik formal mengacu pada ruang di mana perangkat-perangkat kenegaraan berada, seperti parlemen, lembaga peradilan, atau lembaga administrasi Negara. Menurut habermas, dalam konteks partisipasi keleompok kegamaan, alasan-alasan religious hanya boleh disampaikan di ruang publik informal, sedangkan ketka masuk ke dalam ruang publik formal, alasan-alasan itu harus diterjemahkan ke dalam bahasa yang lebih rasional yang bisa dimengerti semua kelompok (Menoh, 2015).

 ***Demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi deliberative seperti yang dirumuskan Habermas, yakni demokrasi di mana gagasan yang diajukan bagi perundang-undangan negara diuji secara publik. Demokrasi deliberative menekankan kerja sama antar-gagasan. Dapat dibedakan dari demokrasi keterwakilan (komunitarian) yang lebih cenderung menekankan kompetisi gagasan antarwakil rakyat (Farihah dan Wahyuni).

****Kecuali di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang memang memiliki sejarah panjang terkait ide dan aksi politik berlandaskan syariat Islam.



Rabu, 25 Juli 2018

WARDAH Antara Dakwah dan Dusta

Efi Filita Arifin
Kajian Budaya 2017 Pascasarjana Unpad


 *submitted for Semiotic class of Prof. Yasraf Amir Piliang at ITB

Wardah adalah salah satu merk kosmetik atau alat-alat kecantikan wanita. Nama merk ini terbilang unik jika  dibandingkan dengan nama-nama merk kosmetik yang sudah ada sebelumnya, seperti L’Oreal, Oriflame, Chanel, Elizabeh Arden, atau Revlon. Dalam perkosmetikan, Wardah merupakan nama Arab di tengah nama-nama Barat (Amerika Serikat, Prancis, Swedia). Tidak hanya Arab, Wardah memang mencitrakan dirinya sebagai kosmetik bagi wanita muslim dan kosmetik yang islami. Hal itu ditunjukkan oleh iklannya yang selalu mencantumkan dan menekankan kata halal dan menggunakan model wanita berhijab.
Lalu, mengapa kosmetik Wardah ini muncul? Mengapa menggunakan nama Arab (Islami)? Apa bedanya dengan kosmetik yang lain? Apakah Wardah diperuntukkan khusus bagi wanita muslim? Bolehkah atau masih islamikah wanita muslim yang menggunakan kosmetik merk lain?
Tulisan ini tidak akan membahas pertanyaan-pertanyaan di atas secara historis, tetapi  mengkajinya secara semiotis dikaitkan dengan gejala sosial yang khas yang mengemuka sejak masa Reformasi.

Semiotika
Semiotika adalah ilmu tanda. Peirce mendefinisikan tanda sebagai “something that represents something else”. Proses pemaknaan tanda diawali oleh segala sesuatu yang dicerap pancaindera. Sesuatu yang dapat dicerap indera itu disebut representament. Kemudian, manusia mengaitkan representament dengan pengalaman dan pengetahuannya akan representament tersebut sehingga muncullah makna atau konsep dalam pikirannya. Konsep atau makna ini disebut object. Pengaitan antara representament dengan object ini melahirkan suatu penafsiran atau penilaian yang disebut interpretant. Interpretant dapat menjadi representament baru yang lebih kompleks. Demikian seterusnya (Hoed, 2014: 8-10; Soedjiman dan Zoest, 1996: 1-5).
Proses semosis itu sendiri akan lebih jelas dalam kategori-kategori hubungan antara representament dengan object-nya. Kategori pertama adalah indeks. Indeks adalah representament yang memiliki hubungan kausal atau alamiah dengan object-nya, semisal api dengan asap atau mobil ambulance dengan sirine. Kategori kedua adalah ikon. Ikon adalah representament yang memiliki hubungan kemiripan dengan object-nya, semisal peta Kota Bandung dengan Kota Bandung atau patung Ir. H. Djuanda dengan Ir. H. Djuanda. Kategori ketiga adalah simbol. Hubungan antara object dan representament ditentukan oleh konvensi, kesepakatan, atau aturan. Dengan demikian, hubungan simbolik ini bersifat manasuka (arbitrer), bergantung pada kovensi setiap komunitas yang menggunakan simbol tersebut. Satu representament yang sama bisa memiliki object yang berbeda-beda. (Hoed, 2014; Sudjiman dan Zoest, 1996; Cobley dan Jansz, 2002).
Semiotika Peirce merupakan semiotika triadik yang melibatkan tiga pihak dalam mengkaji tanda dan proses penafsiran terhadapnya. Di samping Peirce, pengkajian terhadap tanda juga dapat dilakukan melalui semiotika model diadik/binner yang dimunculkan Saussure dan dikembangkan Barthes. Saussure melihat tanda sebagai struktur, sedangkan Peirce melihatnya sebagai proses pemaknaan (semiosis) yang terus-menerus. Maka dari itu, semiotika Saussure disebut juga semiotika structural (Saussure sendiri menyebutnya Semiologi) dan semiotika Peirce disebut semiotika pragmatis (Hoed, 2014: 6-8).

Islamisasi
Gejala yang paling khas muncul setelah masa Orde Baru (1968-1998) adalah islamisasi (Heryanto, 2015: 37). Islamisasi pada masa kini tidak lagi dimaknai sebagai penyebaran agama Islam, tetapi lebih pada praktik-praktik ekonomi, sosial, politik, serta budaya yang menampilkan simbol-simbol agama Islam. Sebagian ahli ada yang mengerucutkannya menjadi komersialisasi simbol-simbol agama Islam. Pada umumnya, dan lebih akomodatif, islamisasi disebut juga dengan kodifikasi simbol-simbol Islam (Jati, 2017: 73). Menariknya, tidak seperti halnya pada pengertian awal, islamisasi dalam pengertian kini melibatkan juga pihak-pihak yang tidak memiliki motif religius. Maka dari itu, ciri khas utama berbagai proses islamisasi yang berbeda-beda ini adalah terjadinya perluasan dalam cara pandang, penampilan, dan perayaan besar-besaran terhadap unsur material dan praktik-praktik yang mudah dipahami dalam masyarakat Indonesia sebagai mengandung nilai-nilai islami (Heryanto, 2015: 40).

Kelas Menengah Muslim
Maraknya islamisasi seiring sejalan dengan meningkatnya jumlah masyarakat kelas menengah muslim. Lembaga-lembaga pendidikan islam di kota-kota telah melahirkan kelompok masyarakat yang modern namun ingin tetap mempertahankan jatidirinya sebagai muslim. Mereka berperilaku layaknya orang kota, juga memiliki kebutuhan-kebutuhan yang khas orang kota (food, fashion, fun), dalam artian seperti orang-orang Barat, namun di sisi lain tak ingin kehilangan identitasnya sebagai muslim.

Wardah: Kosmetik Muslimah Kelas Menengah
Gejala Islamisasi tampak sangat mencolok dalam budaya populer. Daya rambah budaya populer sangat luas dan cepat menjadikan islamisasi kian gencar. Salah satu produk budaya popular adalah iklan. Apalagi jika mengingat bahwa iklan merupakan wahana bagi produsen untuk menggugah kesadaran dan mempengaruhi perilaku calon konsumen agar bertindak sesuai dengan pesan yang disampaikan.    
Salah satu iklan yang mengampanyekan islamisasi adalah Wardah cosmetic. Iklan kosmetik yang satu ini sangat kaya dengan tanda-tanda yang mengarah pada interpretasi mengenai islamisasi. Berikut akan dikaji sebuah iklan Wardah berdasarkan semiotika Peirce.



Gambar 1 
Iklan Wardah dengan Model Tunggal (Wanita Berhijab)
Pada Gambar 1, di bagian kanan tampak gambar kumpulan alas bedak dan cerminnya berwarna biru muda kehijau-hijauan, alas bedak, serbuk bedak, dan lipstick merah dengan gagang sewarna dengan bedak padat. Di bagian kanan bawah terdapat tulisan Wardah diformulasikan halal & berkualitas disertai logo halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), di bagian tengah terdapat tulisan dengan ukuran huruf yang besar Wardah cosmetic, dan di bagian kiri tampak seorang wanita cantik berhijab dan mengenakan topi bercaping pendek yang bagian bulatannya dilingkari kain warna-warni.  
Dengan demikian, tanda-tanda (representament) yang terdapat dalam iklan di atas berkategori ikon dan simbol. Logo halal MUI merupakan gabungan antara ikon dan simbol karena terdiri atas gambar kaligrafi Arab dengan latar warna hijau dan terdapat tulisan Majelis Ulama Indonesia.
Tabel 1
NO
IKON
SIMBOL
1
Gambar kumpulan alas bedak dan cerminannya berwarna biru muda kehijau-hijauan, alas bedak, serbuk bedak, dan lipstick merah dengan gagang sewarna dengan bedak padat (Ikon 1)
Tulisan Wardah cosmetic (simbol 1)
2
Gambar wanita cantik berhijab dan mengenakan topi bercaping pendek yang bagian bulatannya dilingkari kain warna-warni (Ikon 2)
Tulisan Wardah diformulasikan halal & berkualitas (simbol 2)
3
Logo Halal MUI (Tanda 5)

Berikut akan coba ditentukan makna (object) dari kesemua tanda tersebut (semiosis tahap I). Ikon 1 bermakna seperangkat kosmetik dengan warna bingkai serupa menunjukkan bahwa kesemuanya merupakan satu kesatuan merk. Ikon 2 mengacu pada seorang wanita muslimah, cantik (terawat), dan bergaya. Simbol 1 berupa frase (kelompok kata) yang terdiri atas kata Wardah yang berasal dari bahasa Arab mengacu pada merk dan kata cosmetic yang berasal dari bahasa Inggris menunjukkan jenis produk. Simbol 2 berupa proposisi (kalimat) yang mengandung informasi bahwa produk ini dibuat tanpa menyertakan zat-zat yang dalam agama Islam disebut haram, semisal lemak babi, namun tetap memiliki kualitas tinggi. Tanda 5 menunjukkan bahwa barang ini telah diperiksa oleh pihak MUI dan bersertifikasi halal.
Setelah object-object diidentifikasi, berikut adalah kemungkinan-kemungkinan interpretant yang penulis susun (semiosis tahap II). Ikon 1 menampilkan seperangkat kosmetik berkelas setara dengan kosmetik-kosmetik terkenal buatan Amerika Serikat, Prancis, atau Swedia. Bedak bermutu akan menghasilkan kulit wajah yang terang, bersih, mulus, lembut, dan mengilat. Lipstick akan membuat bibir tampak merah, cerah, dan menggairahkan. Wajah yang terang tanpa noda akan tampak kontras dengan bibir yang merah, ditambah bentuk idung yang mancung dan bulu mata lentik, menghasilkan wajah yang cantik memesona, sebagaimana standar kecantikan ala budaya Barat.
Ikon 2 mencuatkan citra seorang wanita yang kecantikan wajahnya merupakan hasil pulasan bedak dan lipstick berkualitas dunia namun islami. Hijab menunjukkan ia seorang muslimah yang taat. Model  hijabnya menunjukkan bahwa ia bukanlah seorang muslimah yang konvensional, statis,  dan tertutup, melainkan modern, dinamis, dan terbuka. Topi bercaping pendek a la Barat dengan hiasan kain berwarna-warni menunjukkan bahwa ia tidak hanya modern, tetapi juga bergaya. Ia seorang muslimah kota dari kalangan menengah ke atas.
Simbol 1 menampilkan nama merk Wardah, sesuatu yang berasal dari bahasa Arab, yang berarti ‘mawar’. Asal kata dan makna wardah mencitrakan dua hal, yakni islami dan cantik. Kata kedua cosmetic, diambil dari bahasa Inggris, bahasa pergaulan internasonal. Hal ini menyiratkan bahwa kosmetik Wardah itu islami dan berstandar internasional.
Simbol 2 mempertegas keislamian dan ketinggian kualitas wardah, yakni bahwa ia dibuat dari bahan-bahan halal dan dengan mekanisme yang halal pula, namun tetap berkualitas. Menggunakan produk-produk halal berarti taat pada ajaran Islam. Informasi kehalalan ini pun diabsahkan oleh Tanda 5, yakni logo halal MUI; kosmetik ini telah mendapat restu para ulama untuk dijadikan alat-alat kecantikan kaum muslimah.
Berikut adalah tabel semiosis iklan wardah secara keseluruhan.
Tabel 2
REPRE-SEN-TAMENT
OBJECT
INTERPRETANT
Ikon 1
seperangkat kosmetik dengan warna bingkai serupa menunjukkan bahwa kesemuanya merupakan satu kesatuan merk
1. seperangkat kosmetik berkelas setara dengan kosmetik-kosmetik terkenal buatan Amerika Serikat, Prancis, atau Swedia.
2. Bedak bermutu akan menghasilkan kulit wajah yang terang, bersih, mulus, lembut, dan mengilat.
3. Lipstick akan membuat bibir tampak merah, cerah, dan menggairahkan.
4. Wajah yang terang tanpa noda akan tampak kontras dengan bibir yang merah, ditambah bentuk idung yang mancung dan bulu mata lentik, menghasilkan wajah yang cantik memesona, sebagaimana standar kecantikan ala budaya Barat.
Ikon2
seorang wanita muslimah, cantik (terawat), dan bergaya
1. seorang wanita yang kecantikan wajahnya merupakan hasil pulasan bedak dan lipstick berkualitas dunia namun islami.
2. Hijab menunjukkan ia seorang muslimah yang taat.
3. Model  hijabnya menunjukkan bahwa ia bukanlah seorang muslimah yang konvensional, statis,  dan tertutup, melainkan modern, dinamis, dan terbuka.
4. Topi bercaping pendek a la Barat dengan hiasan kain berwarna-warni menunjukkan bahwa ia tidak hanya modern, tetapi juga bergaya.
5. Ia seorang muslimah kota dari kalangan menengah ke atas.

Symbol 1
Wardah (bhs. Arab) à nama merk
cosmetic (bhs. Inggris)à jenis produk
1. Wardah à cantik dan islami
2. Cosmetic à berstandar internasional
Symbol 2
informasi bahwa produk ini dibuat tanpa menyertakan zat-zat yang dalam agama Islam disebut haram, semisal lemak babi, namun tetap memiliki kualitas tinggi
1. mempertegas keislamian dan ketinggian kualitas wardah, yakni bahwa ia dibuat dari bahan-bahan halal dan dengan mekanisme yang halal pula, namun tetap berkualitas.
2. Menggunakan produk-produk halal berarti taat pada ajaran Islam
Tanda 5
barang ini telah diperiksa oleh pihak MUI dan bersertifikasi halal
kosmetik ini telah mendapat restu para ulama untuk dijadikan alat-alat kecantikan kaum muslimah

Berdasarkan proses semiosis tersebut, dapat disimpulkan bahwa Wardah cosmetic diciptakan sebagai perlawanan budaya terhadap Barat yang oleh kebanyakan kaum muslimin di Indonesia dinilai merusak. Namun, keinginan untuk menjadi wanita modern, yakni berdandan dan bergaya tetap ada sehingga Wardah menjadi solusi bagi kedua hasrat tersebut: menjadi modern, tapi tetap muslim atau religious (modern juga identik dengan sekuler). Wardah tidak saja mempromosikan gaya hidup modern-islami, tetapi juga sekaligus mengampanyekan ajaran islam tentang pentingnya memilih produk-produk halal. Dengan demikian, iklan Wardah cosmetic turut menyebarluaskan islamisasi atau yang oleh para pelakunya (yang bermotif religius) disebut dengan dakwah.

Wardah: Dakwah atau Dusta?   
Penulis kembali pada pertanyaan-pertanyaan di awal: 1) mengapa kosmetik Wardah ini muncul? 2) Mengapa menggunakan nama Arab (Islami)? 3) Apa bedanya dengan kosmetik yang lain? 4) Apakah Wardah diperuntukkan khusus bagi wanita muslim? 5) Bolehkah atau masih islamikah wanita muslim yang menggunakan kosmetik merk lain?
Kiranya, pertanyaan 1) dan 2) sudah terjawab. Pertanyaan 3),4), dan 5) rupanya sangat penting bagi pertaruhan islamisasi yang disusung Wardah cosmetic. Bisa saja Wardah cosmetic tidak ada bedanya dengan kosmetik merk lain. Jika pembedanya terletak pada kehalalannya, tidak mustahil juga kosmetik merk lain juga halal, tidak mengandung zat-zat yang haram. Pertanyaan 4) dapat dijawab oleh gambar lain dari iklan Wardah cosmetic berikut.


Gambar 2 
Iklan Lip Cream Wardah dengan Model Dua Orang Wanita; Berhijab dan Tanpa Hijab.

Gambar iklan Wardah di atas juga menampilkan wanita yang tidak berhijab. Secara visual, wanita yang tidak berhijab tidak memiliki identitas keagamaan yang jelas, dalam hal ini muslim atau bukan muslim. Maka dari itu, Wardah juga dapat digunakan oleh wanita non-muslim.  
Pertanyaan 5) juga dapat terjawab dengan tampilnya wanita berhijab sebagai model dalam iklan kosmetik buatan Barat, semisal Garnier, seperti tampak pada gambar berikut.


Dengan demikian, ketiga pertanyaan tadi mengandung dua kemungkinan jawaban yang pada intinya apakah iklan Wardah cosmetic ini mengusung islamisasi (bernilai dakwah) atau tidak? Jika mengacu pada teori semiotika menurut Eco, semiotika pada prinsipnya merupakan sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (Piliang, 2012: 43). Walau bagaimanapun iklan Wardah tetaplah iklan, suatu produk budaya populer yang diciptakan berdasarkan susunan tanda; dan makna dari tanda-tanda ini bukan sesuatu yang terberi, melainkan sesuatu yang ditafsirkan. Nilai kebenaran dari tafsiran itu bersifat relatif. Artinya, susunan tanda dalam iklan Wardah cosmetic bisa jadi dimaknai sebagai dakwah, tapi juga takmustahil sebagai dusta.

Sumber Bacaan
Cobley, Paul dan Litza Jansz. 2002. Mengenal Semiotika: For Beginner. Bandung: Mizan.
Hoed, Benny H. 2014. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
Heryanto, Ariel. 2015. Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Jati, Wasisto Raharjo. 2017. Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia. Depok: LP3ES.
Piliang, Yasraf Amir. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika. Bandung: Matahari.
Sudjiman, Panuti dan Aart van Zoest (ed.). 1996. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia.  

Sumber Gambar
Gambar 3 https://www.youtube.com/watch?v=MTIydQIh5FM (diakses pada 14 juli 2018)